Novel ini merekonstruksi kembali sosok Keulamahayati, Laksamana ternama dari Nanggroe. Daerah yang dikabarkan pernah jaya di masa raja-raja.
Judul : Perempuan Keumala
Penulis : Endang Moerdopo
Penerbit : PT Grasindo, 2008
Tebal : 350 halaman + xii
Dapatkah sebuah kematian orang tercinta membelokkan jalan kehidupan seorang perempuan? Menjadikan sebuah ketegaran untuk membela kaumnya, para janda. Kendati tak begitu drastis, perubahan itu telah ditorehkan Endang Moerdopo penulis asal Jogjakarta dalam novelnya, Perempuan Keumala.
Novelnya berkisah tentang Keumalahayati, Laksamana Perempuan pertama kerajaan Aceh, yang hidup pada abad ke-16. Menjadi pemimpin armada laut selat malaka setelah kehilangan kakanda tercinta. Sebuah fakta (mungkin) sejarah yang pernah berlaku di tanah Aceh, dicampur bersama fiksi dalam sebuah perenungan yang dalam.
Keumala, perempuan itu sempat mengenyam indah dan kemudian roboh secara psikologis, setelah perang mengambil cintanya. Dia tak larut lama hingga bangkit memimpin sambil menyingkirkan fitnah yang mendera, dari kaum yang iri dan pengejar dirham di lingkaran istana.
Endang, sang penulis sedang berkisah tentang cinta, dendang kematian, hingga nasehat serta rekontruksi sebuah bangsa digambarkan besar, tapi tak pernah sepi dirudung perang. Bahkan bangsa yang masai oleh pertikaian tak kunjung henti dalam tubuhnya sendiri.
Kisah berawal saat Keumala, tokoh utama dalam remaja. Dia hidup dalam suka dan cinta ketika mengikuti pendidikan militer di Kutaraja. Cerita mengalir indah dalam dialog-dialog panjang tentang perkawanan para sahabat. Sampai kemudian Keumala melengkapkan kebahagiaan saat berjodoh dengan Tuanku Mahmuddin, si abang kelas yang menaruh hati pada mata indahnya.
Dengan cantelan naratif yang mengalir kuat sejak lembar awal, Perempuan Keumala bergerak cepat. Membawa pembaca menelusuri eksotisme Nanggroe dalam perang laut yang dipimpin langsung Sang Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah dengan Panglima Laot Selat Malaka, Tuanku Mahmuddin, suami Keumala.
Perang bersama Portugis di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid saat membela Sultan. Keumala janda.
Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka. Iri muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik dalam kerajaan, merebut simpati sultan.
Nanggroe adalah perang yang nyaris abadi sejak lama. Keumala menjadi kepercayaan sultan dan lahirlah Armada Inong Balee yang dipimpinnya sendiri. Pasukan berasal dari para janda yang suaminya meninggal bersama Mahmuddin.
Jadilah Laksamana Keumalahayati sebagai perempuan perkasa yang memimpin perang, menghibur para janda, berlatih bersama, menghitung strategi sampai kepada mengirimkan mata-mata untuk menelusuri pedagang-pedagang curang di sepanjang Selat Malaka.
Penulis mengakhiri kisah dengan perkelahian melawan pedagang dari Belanda. Cornelis de Houtman, orang yang dalam sejarah disebut sebagai Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Dia mati setelahnya di tangan Keumala dalam sebuah pesta di Laut Krueng Raya.
Perempuan Keumala menjadi penting karena inilah novel sejarah yang menulis tentang Laksamana Perempuan pertama Aceh itu. Endang menyuguhkan fiksi yang dicampur kisah sejarah di dalamnya. Membacanya adalah membaca perempuan Aceh yang gagah perkasa.
Alur cerita pas, tapi penulis sedikit berpretensi ketika menjadikan Keumala tokoh yang berani menghadapi segala tantangan. Pengecutnya digambarkan manusiawi dan magis, dan hanya sedikit, ketika anaknya diculik. Dia diguna-gunai dengan mantra Tapak Tuan dan setelah lepas, Keumala melesat tanpa cacat.
Lainnya, Perempuan Keumala menyuguhkan sebuah dialog-dialog yang kadang panjang dan membosankan. Percakapannya kurang makna, berlebihan di deskripsi alam dengan laut dan daratannya, tokoh dengan pakaian dan lakonnya serta suasana yang dibuat-buat, kadang terbaca tak indah lagi.
Tapi apapun, Endang telah menulisnya untuk Nanggroe, sebagai bahan renungan generasi depan. Bahwa perempuan Keumala pernah ada dalam bingkai pikiran kita. Merawatnya adalah tradisi, mengingatkan perempuan kita, telah jaya sejak silam, dalam fiksi ataupun nyata. ***
[Adi Warsidi, Majalah Acehkini, Oktober 2008]