Senin, 15 September 2008

Sisi Romantis yang Hilang
















Membaca novel "Perempuan Keumala" saya diajak berwisata ke peristiwa masa lalu yang begitu hidup dan penuh warna. saya terpesona bagaimana penulis mampu menghadirkan setting dan pergulatan Aceh, dalam hal ini kerajaan Darud Donya dari sisi internal dan eksternal, baik dalam konteks relasi kuasa, kepentingan dan persaingan dagang antar bangsa. lalu dalam setting itu perempuan keumala berada di tengah poros penceritaan yang begitu hidup dan penuh karakter dalam menghadapi dinamika cinta dan asmara, pantang menyerah menghdapi kisah luka dan duka karena kematian suami dan raibnya sang anak yg tak jelas rimbanya. dinimika intrik dan kuasa, pertarungan antara loyalitas dan pembelaan akan harga diri dan martabat bangsa ditengah keserahan mengejar harta menjual aset bangsa.

Sungguh menarik, karena disini Keumala tidak sekedar menjadi sosok juang pembela tanah leluhurnya, dari penghianat bangsanya, juga bangsa asing. Lebih dari sekedar itu, Keumala benar-benar menjadi pejuang bagi nasib kaumnya, para perempuan janda. Pasukan inong balee yang diorganisir ini, membuat perempuan aceh memiliki sejarah keemasan, legenda hidup yang akan terus menginspirasi siapapun yang menentang pembedaan (diskriminasi) kaum perempuan. Tidak saja bagi orang aceh, namun bagi manusia di tempat manapun…

Membaca dari bab ke bab novel ini terasah renyah, mengalir menepis kebosanan. Namun ada peralihan dari bab 1 menuju bab 2 yang terasa agak mengganggu. Ada bagian yang terputus untuk merangkai dari bagian satu menuju bagian dua.

Pada bagian satu (pendidikan militer...) diceritakan dengan indah bagaimana pertemuan Keumala dengan Mahmudin bin Said al-Latif……teman bermainnya kala kecil. sama-sama tumbuh besar, mejalin pelatihan kemiliteran……setelah sekian lama tidak bertemu kemudian bertemu kembali dalam hasrat cinta yang saling menyapa…bergetar dengan penuh di hati dan saling mengagumi antar keduanya, meskipun tidak saling berucap kata karena ada rasa malu itu. Meskipun hati keduanya saling menyapa begitu mendalam sehingga menanggalkan kesan yang tak putus terlupakan…

Bagian ini ditutup dengan kalimat yang indah dan apik...”mungkin benar begitu..tapi masih harus menunggu waktu…karena kini saatnya untuk menuntut ilmu, bukan lebih dahulu kalbu menjadi nomer satu…(hal.53). Kalimat ini menegaskan Keumala lebih komit pada tuntutan menuntut ilmu dengan menunda untuk sementara pencapaian cintanya dengan Mahmudin…

Ketika masuk untuk menikmati cerita pada bagian dua (dendang kematian…) tiba-tiba pembaca langsung dihadirkan dengan sebuah cerita Perempuan Keumala sedang menghadapi peristiwa kematian suaminya (khususnya di hal 74). Bagi pembaca, seperti saya, mungkin juga pembaca yang lain, kisah cinta dalam novel biasanya selalu mendebarkan dan memunculkan rasa penasaran berkelanjutan……namun ketika di bagian dua tak satupun ada kalimat atau paragraf yang mengurai…akhirnya cinta Keumala dan Madmudin itu berpadu dalam berenda pernikahan sebagai sepasang suami isteri…..terasa ada yang hambar, ada sisi romantis yang hilang menguap dengan begitu saja…



Penikmat Novel “Perempuan Keumala”
Abdur Rozaki
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta




0 komentar:

Video Klip Perempuan Keumala

Pesan Anda

Silahkan kirim pesan anda disini dengan identitas dan email yang benar. Terimakasih.

Nama
Email
Judul
Pesan
Image Verification
Please enter the text from the image
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Suara Pembaca

Terimakasih Telah Mengunjungi Blog Perempuan Keumala, Silahkan Isi Pesan Anda pada box Hubungi Kami atau Buku Tamu dan pada box Komunitas

musik aceh

 
© template modification by Perempuan Keumala